Gambar 1 Ilustrasi Pertempuran Sri Jayanasa
Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti bahwa agama Budha pernah besar di Indonesia. Selain sebagai kerajaan penganut Budha pertama di Nusantara, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran yang dirintis oleh Sidharta Gautama. Kerajaan Sriwijaya yang sudah berdiri sejak abad ke-7 Masehi merupakan salah satu kerajaam maritim di Indonesia. Sejarah Sriwijaya hingga penyebab runtuhnya menjadi bagian penting dalam riwayat Nusantara.
Sebenarnya lokasi tepat kerajaan ini masih menjadi perdebatan. Ada sejarawan yang meyakini lokasi Sriwijaya diduga terletak di Palembang, Sumatera. Namun menurut Van Bemmelen dalam De Geologische Geschiedenis, Sriwijaya dikatakan terletak di Jambi sekitar tepi teluk kota Palembang. Para sejarawan menduga, kerajaan ini berfokus pada sektor perdagangan laut di daerah Selat Malaka dan Selat Sunda. Munoz dalam Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (2006), mengungkapkan, kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Raja pertama Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang dikenal dengan nama Sri Jayanasa pada 671 M hingga 728 M. Pendapat ini dikemukakan oleh I Tsing yang berasal dari China dan beberapa prasasti peninggalan Sriwijaya, yakni Kedukan Bukit, Talang Tuo, Kota Kapur, Karang Brahi, dan Palas Pasemah. Armada maritimnya terkenal kuat dan wilayah kekuasaannya luas, namun perlahan runtuh karena beberapa sebab.
Kerajaan Sriwijaya dapat dikatakan sebagai pusat kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan agama Buddha. Para biksu dari berbagai penjuru datang dan tinggal di kerajaan ini dalam waktu yang lama untuk mempelajari ajaran Buddha. Terkenalnya Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran ajaran Buddha tidak lepas dari peran Dharmakrti. Ia adalah biksu tertinggi di Kerajaan Sriwijaya yang memiliki pengetahuan luas tentang ajaran Buddha. Bahkan, Dharmakrti pernah menyusun kritik terhadap isi kitab Abhisamayalamkara.
Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Pada masa kepemimpinan Balaputradewa sebagai raja kesepuluh, Sriwijaya mencapai titik kejayaannya. Akan tetapi, saat periode itu juga Sriwijaya kehilangan kekuasannya di Jawa, tercatat di Prasasti Nalanda yang ditemukan di India. Setelah itu, Kerajaan Medang dari Jawa menyerang Sriwijaya pada 990-an. Munoz (2006) menerangkan, serangan ini terjadi pada 988 hingga 992, tepat ketika Sri Cudamani Warmadewa memimpin. Akan tetapi, Sriwijaya berhasil memukul mundur musuhnya saat itu. Memasuki abad ke-11, Sriwijaya mendapatkan serangan lagi oleh pihak Kerajaan Chola dari India Selatan. Tepatnya, pada 1017 dan 1025, Raja Rajendra Chola I mengirim pasukan dan berhasil menduduki beberapa daerah kekuasaan Sriwijaya. Penyerangan ini terjadi ketika Sangrama-Vijayottunggawarman memimpin Sriwijaya. Secara perlahan, Chola berhasil mempengaruhi kekuasaan raja baru. Menurut Sastri K. A. N dalam The Cholas (1935), beberapa kerajaan bawahan Sriwijaya yang telah ditaklukan boleh memerintah, namun tetap harus tunduk pada pihak Chola. Akibatnya, kekuatan Sriwijaya berkurang. Dalam tulisan Pengaruh Geohistori pada Kerajaan Sriwijaya, I Nyoman Bayu Pramartha menerangkan, Sriwijaya telah berusaha mendapatkan kembali pamornya sebagai penguasa Sumatera, namun tidak bisa seperti sebelumnya.
Selain diserang kerajaan lain, kondisi alam juga mempengaruhi runtuhnya Sriwijaya. Menurut Daljoeni dalam Geografi Kesejarahan II (1982), Sumatera adalah daerah dengan curah hujan tinggi melebihi kemampuan penguapan. Air meresap terlalu dalam hingga kesuburan tanah berkurang. Bahkan, terdapat juga air yang tidak terserap hingga membawa material daratan ke Sungai Musi, Palembang. Akibatnya, sungai menjadi dangkal dan daratan kurang produktif. Selain tidak bisa menghasilkan produk untuk konsumsi, Sriwijaya perlahan kehilangan akses perdagangannya di Sungai Musi. Jalan yang sebelumnya menjadi ladang emas terhambat hingga akhirnya berhenti. Turunnya kekuatan Sriwijaya dalam bertahan hidup lebih diperparah ketika masuknya Islam di Aceh. Pada abad ke-13, Kerajaan Samudera Pasai hadir di bagian Sumatera bagian utara dan menjadi pusat perdagangan. Menurut catatan Cina, Sriwijaya menyisakan kekuasaan di sekitar Palembang yang saat itu bernama Kerajaan Palembang. Kabar terakhir dari kerajaan ini ke pihak luar ketika mengirim utusan ke Cina pada 1374 dan 1375. Faktanya, kerajaan di Palembang ini akhirnya hancur pada 1377 karena diserang oleh Kerajaan Majapahit.
Daftar Raja-Raja Sriwijaya
Berikut daftar raja Kerajaan Sriwijaya dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa (683 M) hingga Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1178 M):
Dapunta Hyang Sri Jayanasa (683 M)
Indrawarman (702 M)
Rudra Wikrama (728-742 M)
Sangramadhananjaya (775 M)
Dharanindra/Rakai Panangkaran (778 M)
Samaragrawira/Rakai Warak (782 M)
Dharmasetu (790 M)
Samaratungga/Rakai Garung (792 M)
Balaputradewa (856 M)
Sri Udayadityawarman (960 M)
Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M)
Hsiae-she (980 M)
Sri Cudamaniwarmadewa (988 M)
Malayagiri/Suwarnadwipa (990 M)
Sri Marawijayottunggawarman (1008 M)
Sumatrabhumi (1017 M)
Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025)
Sri Dewa (1028 M)
Dharmawira (1064 M)
Sri Maharaja (1156 M)
Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1178 M)
Sumber: https://tirto.id/sejarah-runtuhnya-kerajaan-sriwijaya-silsilah-raja-raja-f9Nv (diakses 21 Oktober 2022)
Gambar 2 Ilustrasi Persumpahan Datu Sriwijaya
Sistem Birokrasi Kadatuan Sriwijaya
Tidak banyak data tertulis yang berupa prasasti yang menyebutkan sistem birokrasi Kadatuan Sriwijaya. Satu-satunya data yang berisikan informasi mengenai sistem birokrasi adalah prasasti persumpahan Telaga Batu. Dari berbagai prasasti Sriwijaya dapat diduga bahwa bentuk pemerintahan Sriwijaya adalah "Kadatuan" yang artinya "kumpulan para datu". Ini berarti Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan yang terdiri dari mandala-mandala (provinsi-provinsi) dimana setiap mandala dikepalai oleh seorang Datu.
Mandala-mandala tersebut membentuk semacam federasi yang diketuai oleh seorang yang disebut Datu. Datu berperan sebagai Primus Interpares. Karena ia tidak saja menjadi ketua dari gabungan provinsi-provinsi itu, tetapi juga sebagai hakim yang menyelesaikan sengketa antara mereka dan juga sebagai orang tua yang sangat dihormati. Seorang Datu dapat dipilih dari putra-putra penguasa atau anak keturunan seorang bangsawan. Pejabat di bawahnya adalah petinggi bergelar parvvanda yang memimpin semua hulubalang dan bertanggungjawab dalam hal ketentaraan.
Dalam tingkatan sosial dan jabatan terdapat empat tingkatan atau kelas putra-putra Datu. Putra Datu yang utama adalah yuwaraja (Putra Mahkota) atau Raja Muda. Tingkatan berikutnya adalah putra yang bergelar pratiyuwaraja. Ia dapat naik ke tingkat yuwaraja. Tingkatan ketiga adalah raja kumara. Sampai tingat ini semuanya dapat dilantik menjadi Datu walaupun terdapat perbedaan tingkat dan usia. Tingkatan keempat adalah rajaputra. Anak Datu ini tidak mempunyai hak atas tahta karena ia anak dari selir atau gundik.
Pada lapisan yang lebih rendah terdapat beberapa golongan pembesar termasuk para pegawai Kadatuan, seperti murdhaka (penghulu), tuhanwatakwurah (koordinator perdagangan dan pertukangan), adhyaksa nicayarna (jaksa), kumaramatya (menteri tetapi bukan kerabat bangsawan), dan para profesional (arsitek, juru tulis, kapten kapal, pedagang, pande besi, tukang cuci, dan hamba Datu). Seluruh jabatan tersebut ditulis dalam Prasastu Talaga Batu, dan mereka inilah yang disumpah oleh Datu Sriwijaya agar tetap setia tidak melakukan pemberontakan.
Sumber: https://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/article/hpe8yk_1484531901/sistem-birokrasi-kadatuan-sriwijaya#gsc.tab=0 (diakses 21 Oktober 2022)
Comentários